Wednesday, March 19, 2008

TALKSHOW “PLTSa GEDEBAGE, PRO atau KONTRA?”


Selasa, 11 Maret 2008

Ruang 26 CC Barat, ITB Bandung

Pembicara:

Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri ( Dosen Teknik Lingkungan ITB & ahli persampahan)

Dr.Ir. Mubiar Purwasasmita (Dosen Teknik Kimia ITB)

Drs. M. Taufiq Aiif M. Sc. (tim AMDAL PLTSa)

Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek (Tim Feasibility Studies, dosen Teknik Mesin ITB)

Penyelenggara:

Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK)- ITB

Diskusi mengenai PLTSa dimulai pukul 13.30 di ruang 26 CC Barat. Diskusi dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, dosen, pers, LSM, dan warga dari daerah sekitar Gedebage yang rencananya akan menjadi lokasi pembangunan PLTSa ini. Berikut rangkuman jalannya diskusi yang diambil dari notulensi panitia acara.

Sesi 1 : Pak Ari , penjelasan mengenai PLTSA.

Mengapa ITB bisa terlibat dalam menangani permasalahan sampah? Pemerintah Kota Bandung meminta pada Bappenas untuk mendirikan WTE (waste to energy-PLTSa) di Bandung yang membutuhkan dana 500 M. Kemudian pemkot meminta bantuan ITB dalam membuat studi kelayakan. Karena pemkot tidak mempunyai dana, maka diputuskan untuk berpartner dengan PT. BRIL ( PT Bandung Raya Indah Lestari) yang berperan dalam bidang sektor properti. Yang terlibat dalam pembuatan ini adalah 1 tim yang cukup besar. Latar belakangnya adalah TPA Kota Bandung yang ditutup, sehingga pembuangan sampah di tempat lain akan membutuhkan waktu lama dan birokrasi yang panjang.

Menurut Pak Ari, tujuan dari studi kelayakan (Feasibility Studies-FS) adalah aspek teknologi, finansial dan legal, yaiu studi dengan meneliti limbah yang ada sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Karena mempunyai latar belakang dalam konversi energi, maka tim Pak Ari dipanggil untuk membuat FS. Dalam aspek legal mereka merasa tidak cukup kompeten sehingga diadakan workshop untuk memenuhi aspek tersebut.

Sesi 2 : Pak Taufiq yang meninjau dari Amdal.

Pada sesi diskusi yang kedua, Pak Taufiq mengawali penjelasan dengan mengungkapkan bahwasanya Amdal tidak dapat diperlihatkan karena masih milik PT BRIL. Beliau kemudian menjelaskan latar belakang masalah sistem penanganan sampah kota bandung. Semua TPA di kota bandung akan di tutup dan WTE adalah salah satu solusi untuk mereduksi sampah sampai dengan 5 % dari volume asal. WTE pemusnah sampah modern yang dilengkapi dengan peralatan kendali pembakaran dan sistem monitor emisi gas buang yang kontinyu, dan terkendali. Sampah kota bandung yang dapat ditangani sekitar 500-700 ton. Teknisnya, sampah akan dibakar suhu ±850 derajat Celcius. Gas hasil pembakaran digunakan menguapkan uap air, kemudian gas tersebut langsung didinginkan agar tidak terbentuk dioxin. Gas tersebut akan diolah agar tidak menimbulkan dampak pencemaran.

Sisa pembakaran :

1. Bottom ash 5% dari total volume

2. Fly ash 0,15% dari total volume

Bottom ash biasanya digunakan untuk bahan bangunan/ lapisan dasar jalan raya.

Pak Taufiq juga menjelaskan operasional PLTSa. Awalnya untuk starter digunakan bahan bakar minyak, dan pada suhu 850 derajat Celcius sampah dimasukkan dalam insinerator yang berjalan 7800 jam selama 1 tahun. PLTSa itu sendiri mempunyai 2 tungku yang dapat digilir. Mengenai sampah, Ia mengungkapkan bahwa tidak akan dilakukan pemilahan, dengan asumsi sampah yang datang sudah dipilah oleh pemulung. Sampah harus heterogen, tercampur rata. Pasokan sampah sejenis tidak boleh lebih dari 50% dari jumlah sampah yang akan di bakar.

(Hasil studi Pak Ari : sampah 30% diambil oleh pemulung. Diatas dari persentase daur ulang sampah di negara-negara lain.)

Sampah yang tidak boleh masuk ke PLTSa adalah:

1. Limbah kimia

2. > 500kg

3. Potongan beton

4. Bahan yang dapat meledak

5. Potongan besi

6. Cairan yang mudah terbakar

7. Tepung halus

8. Limbah medis

9. Sisa pengolahan Limbah cair

Sampah yang harus diproses lebih dahulu (dipotong-potong kecil-kecil) :

1. Container aerosol

2. Ban mobil

3. Kayu

4. Wadah solvent

FS Pak Ari merupakan pra-syarat dari PLTSa, sehingga saat dilakukan kajian AMDAL menjadi lebih mudah.

Lingkup kajian AMDAL meliputi:

1. Kualitas udara

2. Kuantitas air tanah

a. Imbuhan air tanah

3. Geomorphology

a. amblesan

4. Sosekbud

a. Lapangan kerja

b. Kesempatan berusaha

c. Mata pencaharian

d. Pendapatan

e. Kependudukan

f. Harga tanah

g. Produksi pertanian

h. Keresahan

i. Sikap

j. Keamanan dan ketertiban

5. Kesmas

a. Prevalensi penyakit

b. Sumber air bersih

c. Kesehatan lingkungan

6. Transportasi

a. Antrian

b. Kualitas jalan

c. Frekuensi kecelakaan

Selain yang telah disebutkan di atas, masalah transportasi juga dipelajari karena cukup riskan jika ada antrian sampah di depan PLTSa.

Sesi 3: Pak Mubiar

Ada 6 poin yang dibicarakan:

1. Analisis ekosistem. Menangani masalah sampah bukan hanya mengurangi sampah. Tapi juga melihat ekosistem yang ada dalam sampah. Termasuk siklus di dalamnya. Seperti siklus gas, seperti permasalahan ozon. Oksigen ini generatornya pohon. Siklus udara ini siklus kesehatan dan kehidupan. Siklus air. Bandung sudah teridentifikasi kekurangan air karena kekurangan hutan. Air hujan ¾ nya menguap menjadi awan. Awan dikendalikan dengan temperatur oleh pohon. Air lama menahan awan di puncak bukit, semakin banyak cadangan air. Bandung tidak perlu bendungan buatan tapi perlu bendungan alami berupa pohon. Siklus padatan, yaitu siklus biomassa yang menjadi sampah kota. Hanya 2 proses yang paling bermanfaat yang pertama adalah kompos yang mempercepat penguraian. Yang kedua adalah untuk pakan ternak. Sehingga meningkatkan produktivitas. Pembuatan juga proses pembakaran yang kecil sehingga dapat ditangkap oleh tumbuhan dan miroba.

2. Permasalahan PLTSa adalah masalah pembakaran itu sendiri yang menghasikan emisi panas dan CO2. Emisi panas tidak akan hilang yang akan meningkatkan temperatur kota bandung. Untuk mendinginkannya membutuhkan air.

3. Cerobong asap di kota Bandung yang cekungan tidak akan berfungsi. Masalah cekungan kota bandung belum didiskusikan dan dibicarakan. Cerobong asap berfungsi jika di daerah perbukitan ditanami pohon.

4. Ambang batas. Dioxin di Perancis ditemukan di air susu sapi. Jika ada program yang lebih tidak berbahaya mengapa dipilih program yang lebih berbahaya.

5. Dari masalah investasi. (AMDAL bukan milik perusahaan saja, tapi juga milik publik.) Tidak benar jika menangani masalah sampah hanya dengan perusahaan saja, tapi juga dengan wakil-wakil rakyat karena menyangkut masalah publik.

6. Sampah yang sudah dipilah-pilah akan sangat baik jika dijadikan kompos. Tidak ada keharusan di alam untuk membakar sampah. Yang benar adalah menanggulangi dengan memilah-milah sampah.

Sesi 4: Pak Enri

Untuk mengatasi permasalahan sampah di Jawa Barat, pihak provinsi Jawa Barat melakukan penyiapan Greater Bandung Waste management corporation (GBWMC): 2003 – maret 2005. Pada 21 Februari 2005 terjadi longsor di TPA Leuwigajah. Tragedi ini menelan puluhan hingga ratusan korban jiwa. Pada 7 maret 2005 dikeluarkan MOU antar Pemda. Dengan terjadinya longsor ini dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi permasalahan Kota Bandung yang semakin menjadi-jadi. Berbagai pihak melakukan upaya untuk mengatasi permasalahan ini dari upaya bersama yang dilakukan provinsi Jawa Barat hingga upaya masing-masing yang dilakukan oleh kota Bandung dan Cimahi.

Upaya yang dilakukan provinsi Jawa Barat antara lain penggunaan TPA eksisting termasuk di kabupaten Bandung, dan evaluasi lokasi TPA. Selain itu rencana realisasi konsep GBWMC tetap berlanjut dengan pembentukan pusat pengolahan persampahan Jawa Barat antara lain rehabilittasi Leuwigajah, revitalisasi TPA Sarimukti (lahan pinjaman yang akhirnya didapatkan oleh pemkot Bandung dari perhutani dengan janji pengomposan) dan kelayakan lokasi timur : Citiis. Pada Februari – November 2005 pihak investor Malaysia mengajukan konsep Sanitary landfill untuk Jawa Barat, dan mereka melakukan setudi kelayakan selama masa tersebut. Tetapi rencana ini gagal dengan keluarnya kepres 67 tahun 2005 yang melarang penunujukan langsung pembangunan infrastruktur. Dengan kata lain harus dilakukan tender pemilihan investor.

Sementara itu upaya yang dilakukan kota Bandung upaya yang dilakukan oleh kota Bandung dan Cimahi adalah dengan membuka permasalahan ini kepada para investor. Pada 16 Maret 2005,17 investor yang mengajukan konsep penanganan masalah sampah melakukan presentasi di depan walikota Bandung. Dalam presentasi tersebut terlibat tim evaluator yang melibatkan beberapa dosen dan pakar dari Unpad dan ITB. Pada pertemuan tersebut dua investor dari China mengajukan konsep PLTSa tetapi ditolak dengan berbagai pertimbangan. Secara keseluruhan Tim evaluator mengajukan usulan agar melibatkan 3 kelompok besar untuk mengatasi permasalahan sampah yaitu:


1. memberikan kesempatan bagi komunitas-komunitas seperti RT dan RW untuk melakukan pengolahan sampah sendiri (komposting)

2. memberikan kesempatan bagi pihak yang mau mengelola sampah pasar

3. memberi kesempatan pada investor, tapi harus dilakukan studi kelayakan terlebih dahulu tentang pengelolaan sampah yang paling baik ( tidak erikat harus insinerator).

Pada 7 maret 2005 dikeluarkan MOU antar Pemda. Kota Bandung mencari lahan pinjaman untuk TPA sementara. Akhirnya pemkot mendapat 2 tempat lahan pinjaman yaitu di kodam III (Cikubang) selama dua bulan penuh dan di Perhutani (Sarimukti) yang digunakan hingga saat ini. Untuk lahan di Sarimukti pihak Perhutani menyetujui dengan syarat diberlakukan pengomposan. Tetapi janji ini tidak dipenuhi oleh pihak pemkot. Pada April 2006 diberlakukan Bandung darurat sampah babak 2. Juni 2006 pihak ITB diminta Bappenas mengajukan konsep penanggulangan sampah Bandung, & diberikan kesempatan untuk melakukan presentasi di hadapan 3 mentri. Bersamaan dengan presentasi yang dilakukan tim dari ITB pihak walikota Bandung mengajukan WTE sebagai solusi, tapi dengan ketidakjelasan konsep karena tidak dijelaskan secara detail.

Konsep yang diusung oleh tim dari ITB tersandung masalah dana. Berbeda dengan WTE yang diajukan pihak kota, meski memerlukan dana yang besar tetapi saat dilakukan presentasi telah ada investor yang bersedia membiayai proyek ini. Bandung memasuki era PT Brill dan PLTSa.



Pada sesi tanya jawab terlontar bermacam-macam pertanyaan dari hadirin peserta diskusi. Beberapa terlihat sangat antusias, bahkan ada yang sangat emosional. Kebanyakan penanya mengajukan permasalahan efek keberadaan PLTSa ini nantinya bagi kesehatan dan kehidupan sosial masyarakat secara luas. Hal ini mencakup buangan dioxin dari insinerator itu sendiri, biaya yang harus dikeluarkan untuk pengolahan sampah, dan peran ITB dalam pengambilan kebijakan Walikota Bandung untuk membangun PLTSa.

Dari Pak Ari memaparkan, WTE bagian pengelolaan sampah terpadu, tidak bisa dihilangkan. Kalau bisa mengolah sampah sendiri di rumah, itu bagus. Tapi seluruh masyarakat bandung banyak yg tidak punya tempat untuk komposting. Untuk keadaan emergency inilah bisa digunakan insinerator. Resiko paling buruk dari kegagalan PLTSa adalah unit pengelolaan udaranya tidak berfungsi. Kalau ini terjadi mesin dimatikan. Kalau terjadi sesuatu maka ini menjadi tanggung jawab walikota dan pemilik PLTSa. Kami hanya memberi pertimbangan. Kalau terjadi sesuatu maka kerugian ditanggung oleh investor, bukan pemerintah.

” PLTSa adalah bagian penyelesaian masalah sampah bandung. Tidak bisa menyelesaikan sistem. PT. BRIL hanya menyediakan jasa pemusnahan sampah bandung. Yang siap cuma PT. BRIL. Tidak ada proposal lain ”, ungkap Pak Ari.

Sementara kemudian dari peserta diskusi ada yg menyela: ada, saya tau ada proposal lain selain PT BRIL.

Pak Taufiq menjelaskan bahwa buangan gas dari cerobong PLTSa nanti akan dipantau oleh 10 pemantau gas buang. Apabila tidak bisa ditanggulangi maka akan di shutdown. Beliau juga mengungkapkan pendapatnya tentang sulitnya membudayakan pemilahan sampah saat ini, bahkan di ITB sekalipun.

” Kami melaksanakan studi Amdal dengan dasar FS. Hasilnya menjadi masukan bagi perencanaan yg lebih lanjut. Dasarnya FS. Persoalan-persoalan yg menyangkut kecelakaan menjadi kewajiban pelaksana untuk emergency response. Isinya apa yg harus dilakukan PT. BRIL untuk mengurangi dampak yg mungkin terjadi. Mereka yg harus membuat. Masalah tata ruang, lihat hasil PTUN. Di peraturan Mendagri tata ruang bisa diubah, ada syarat2nya. Tinggal walikota memenuhi persyaratan itu atau tidak. Kalau memang terjadi pelanggaran tinggal dipersoalkan dengan walikota. Saya sudah bilang dari awal tidak bisa mendiskusikan hasil studi amdal. Kalau sudah sidang komisi, baru bisa. Amdal membicarakan banyak persyaratan yg harus dijalankan PT. BRIL. Pertanyaannya siapa sih yg percaya dgn pemerintah? Siapa yg menjamin kalau PT. BRIL akan melaksanakan itu? Apakah benar pemerintah akan menutup PLTSa kalau tidak berjalan baik? Tidak betul kalau kami bisa dibeli oleh PT. BRIL . Amdal bukan untuk memutuskan proyek jalan atau tidak. Hanya bahan pertimbangan saja. Yang memutuskan tetap walikota.”

Selanjutnya Pak Mubiar menjelaskan, sampah yang masuk ke sarimukti volumenya lima kalinya yang sudah bau busuk. Siklus yg dilakukan dengan baik, wastenya makin lama akan makin turun. Mengajari 2 juta orang memang sulit, apalagi tanpa memakai modal. Tapi harus tetap kita terapkan di pendidikan. Kalau sudah ada political will untuk manajeman sampah yang baik, dananya akan turun. Sampai kapanpun kota bandung ini tidak akan meninggalkan pertaniannya. Saat ini pemupukan telah menghancurkan pertanian kita, tanah vulkanik kita tidak membutuhkan itu. Cukup kompos. Harus dikembalikan produktivitas tanah kita yang hilang karena kita membakar sampah. Kita tidak tepat kalau bandung pakai batubara juga. Yang lebih penting dari pada meloloskan project A, atau B, yaitu sustainability ekosistem. Keliru kalau kota-kota di Indonesia ini membuang pertaniannya.

Sependapat dgn Pak Enri, Pak Mubiar berpendapat bahwa mengolah sampah dengan pabrik dan kompos di pemukiman tentu berbeda. Tapi aspek sosial tetap harus diperhatikan karena cukup penting. Ketika kita menghargai orang per orang itu lebih berarti daripada kita mengorbankannya bagi kepentingan orang lain. Kota Bandung perilakunya memang sering tidak konsisten. Permukiman yg besar saja bisa berubah. Penting mengajak semuanya kembali ke aturan yang benar. Masalahnya pada pengambilan keputusan. Dengan kesadaran bahwa ini fasilitas publik, maka harus mempertimbangkan kepentingan publik. Saya sangat menghargai inisiatif masyarakat. Kalau ITB dianggap bumper ini harus diluruskan juga, baik di masyarakat maupun PT. BRIL.

Pak Enri mejelaskan bahwasanya solusi lain masalah sampah masih ada. Sebulan yang lalu ada presentasi provinsi jabar tentang keterolahan sampah bdg, ini belum selesai, ada 4 alternatif. Tiap alternatif menggabungkan metode2, mulai yg termurah gabungan kompos & WTE, sampai yg termahal. Tapi belum keluar harganya. Alternatif ada.

“Saya kira dalam Amdal saya mengharapkan ada skenario simulasi kalau terjadi begini. Bukan hanya pas steady state. Kalau terjadi kecelakaan juga. Amdal seharusnya bercerita ttg itu, jadi bisa kita prediksi dan mawas diri”

Tidak ada jawaban yg pasti. Masalah pilihan. Masalahnya yg dilakukan pemerintah, FS PLTSa. Padahal banyak pilihan. Semuan ya jalan bersama-sama. Banyak solusi lain bukan hanya PLTSa atau landfill, aspek lain mengikuti seperti finansial.

Masyarakat Gedebage yang turut hadir mengungkapkan, mereka masih punya harapan kebijakan PLTSa ini berubah.

” Momen hari ini kita bisa bertemu pakar-pakar yg tidak diragukan nasionalismenya. Persoalannya bukan bagaimana kita akan menggolkan PLTSa. Saya pikir ini kebijakan banci. Kenapa sebuah kebijakan harus dihadapkan dengan manusia yg punya banyak harapan hidup di sana. Kita tidak menolak kebijakan pemerintah asal konsisten. Mengolah sampah dengan menghitung pundi-pundi. 1700 manusia yg punya masa depan. Ini peraturan daerah atau peraturan Dada? Melanggar hak setengah manusia saja sudah tidak layak. Dia dipilih dgn aspirasi rakyat. Pak Mubiar, Riset anda harus dikedepankan dgn kemanusian di belakangnya. Kalau memang kami ini tidak punya pilihan lg, kumpulkan saja rakyat bandung yg miskin di lapangan bom saja…” seru seorang warga Gedebage dengan satir.

Kesimpulan dari diskusi ini bukan pro atau kontra PLTSa. Silahkan disimpulkan masing-masing dari hasil pemaparan diskusi. Sampah adalah masalah kita bersama. Kita harus terus memikirkan solusi terbaiknya, dan terus mengembangkan alternatif-alternatif pemecahan masalahnya.

di muntahkan oleh sawung@psik-itb.org

No comments: