Sunday, October 09, 2005

Lire en fete 2005

Pesta memabca tahun ini di CCF diselengarakan dengan mementaskan serat centhini. Ada tiga lakon yang dipentaskan. Malam pertama mementaskan "empat puluh malam salah satunya hujan". Malam kedua mementaskan "Minggatnya cebolang" dan "Ia yang memikul raganya". Malam pertama Elizabeth Inandiak membaca sedangkan Didik Ninithowok menari. Didik menari dengan fasih. Terlihat kematangan gerakannya. Dia memerankan beberapa peran yang berubah-ubah dengan baik. ada yang gue suka dari tari-tari negeri kita, tari negeri kita kaya akan gerak-gerak detail. Gerakan jari dan bagian tubuh lainnya yang sarat akan makna. Berbeda dengan tarian kontemporer dan tarian eropa seperti balet yang geraknya tidak sedetail tarian indonesia dan ruhnya atau emosinya tidak sedalam tarian kita. Ada bebrapa tarian indonesia yang bikin trance dan perlu beberapa ritual khusus. Gue pernah liat tari topeng dimana penarinya mesti melakukan ritual tertentu dulu kalo ga topengnya ga bisa dilepas! Empat puluh malam salah satunya hujan menceritakan perjalanan cinta dari amongraga dengan tembang rararas dan banyak cerita-cerita sisipan lainnya. Saerat centini sendiri terdiri dari banyak cerita dan kalo ditulis terdiri dari 4000 halaman.

Malam kedua pembaca cerita ditambah oleh dalang Slamet Gundono. Didik tidak menari malam itu kecuali sekilas di bagian akhir. Musik dan penampilan dari Slamet Gundono bagus sekali malam itu. Improvisasi dan tuur kata slamet jempolan. Beruntung juga gue mengusai bahasa jawa dan sedikit prancis disamping bahasa Indonesia jadi bisa mengerti apa yang diucapkan Slamet, dia pake bahasa jawa logat pesisir. Cerita malam itu penuh dengan kearifan-kearifan. Ada cerita tentang gatholocho dan dewa ruci yang sarat dengan kearifan( gue pernah baca dan denger sebelumnya). Salah satu adegan yang dalam banget yaitu ketiaka werkudhoro yang mencari air suci/kesejatian di akhir perjuangannya bertemu dewa Ruci. Werkudhoro melecehkan dewa Ruci karena dewa Ruci kecil. Dewa Ruci balik menantang dia untuk masuk kedalam telinganya, werkudoro bilang ga mungkin. Tapi dewa ruci bilang bisa. Betapa terkejutnya werkhudhoro ternyara lubang telinga dewa Ruci bisa menjadi luas sekali. Werkhudhoro merasakan dia hanya daun kecil saja yang mudah diombang-ambingkan di alam semesta, dia menginsyafi kedaan dunia dan dirinya. Menginsyafi betapa lemah dirinya. Cerita tentang gahtolocho lebih dalem lagi mengarah ke sufiisme dan lebih dalem lagi. Malam itu pertunjukannya sampe ke dalam hati euy gue tertawa, merenung dan menagis dengan dalam. Pertunjukan diakhiri dengan amongraga yang dihukum dan kemudian hilang ketengah laut. Adegan ini di perankan oleh didik. Sayang si nona penari tidak nonton malam itu, dia akan terkesima kalo nonton malam itu melihat gerakan dari didik.


Ah disebelah sana ternyata ada nona A yang sedang menonton juga. Nona ini waktu masih pake seragam sma bikin gue terkejut, ada anak sma udah ikut diskusi berat. Ternyata dunia itu sempit begitu belakangan tau siapa nona A ini. Wah ternyata kami sering nonton bareng sekarang walupun secara tidak sengaja. Toch hidup adalah rangkaian kebetulan.

foto oleh oki

2 comments:

boit said...

keren banget yaaaa..
gw cuma nonton yang hari ke dua.. slamet gundono memang poll.. :D

Anonymous said...

Iya, kueren. Bisaan si slamet gundono dalang edan