Di bawah ini tulisan Harry Wibowo yang cukup komprehensif yg mungkin bisa menjadi perenungan kita
(sumber tulisan: http://lembagainformasiperburuhansedane.blogspot.com/2012/05/marsinah-korban-orde-baru-pahlawan-orde.html )
Marsinah: Korban Orde Baru, Pahlawan Orde Baru
Oleh: Harry Wibowo
Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk
berdinding terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa
Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di
pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti siapa
yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya pertama kali, dan
kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya? Seperti juga tak pernah
terungkap melalui cara apapun: liputan pers, pencarian fakta, penyidikan
polisi, bahkan para dukun maupun pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan
di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau
beberapa hari sesudahnya? Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita
memang bisa mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya sendiri.
Tapi kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap
penuh misteri hingga kini, walau tujuh tahun berselang.
Gubuk, ditemukannya jasad Marsinah, dusun Jegong, desa Wilangan, Nganjuk, 100 km lebih dari Sidaorjo | foto diambil dalam waktu yang berbeda November 1993 & Januari 1994 |
Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting kemudian,
melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan wacana
yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis
perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer
pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun
skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis
mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi
nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung
teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam
Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka
dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya
sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana,
sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah
dan tabah. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Marsinah, tipikal buruh perempuan desa yang mengkota tapi
terpinggirkan, tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk pikuk
industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an.
Ia bukan hanya mewakili ‘nasib malang’ jutaan buruh perempuan yang
menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat karya berupah rendah,
berkondisi kerja buruk, dan tak terlindungi hukum, tapi pembunuhannya yang
dimediasikan dan diartikulasikan oleh media massa menyediakan arena diskursif
bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh,
pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer,
kepolisian, dan sistem peradilan.
Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya
perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan
Sumini di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten Nganjuk. Ibunya meninggal
saat ia berusia 3 tahun (lahir 1968) dan adiknya Wijiati berumur 40 hari.
Ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini, perempuan dari desa lain.
Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman
dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.
Tak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia tipikal
anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tak terlampau
miskin, walaupun tidak kaya. Seperti mayoritas anak-anak pedesaan di Indonesia,
juga di negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, ia sudah bekerja pada usia dini dan
tampak lebih dewasa dari usianya. Bekerja bagi mereka sangat lazim, termasuk
kerja upahan di rumah maupun di pabrik. Sepulang sekolah, ia membantu neneknya
menjual beli gabah dan jagung, dan menerima sekadar upah untuk mengangkut gabah
dengan bersepeda dari sawah atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli.
Di kalangan teman-teman dan gurunya, di SD Negeri Nglundo,
meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tapi kerajinan, minat baca,
sikap kritis dan tanggungjawabnya menonjol. Setiap tugas sekolah selalu
berupaya diselesikannya. Jika ada penuturan gurunya yang kurang jelas, tak
segan ia mengacungkan tangan meminta penjelasan. Setelah naik kelas VI, ia pindah
ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP Negeri V Nganjuk pada tahun
ajaran 1981/82. Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia
seusianya, cita-citanya terbentuk. Mencoba melanjutkan ke SMA Negeri, namun
gagal, dan akhirnya ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya
yang lain. Di SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih
banyak ke perpustakaan ketimbang bermain. Lagi-lagi seperti banyak gadis desa
sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas, karena
keluarganya tak mampu membiayai kuliah.
Tak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota
besar. Tahun 1989, ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang
sudah berkeluarga. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan,
akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan
industri Rungkut. Gajinya jauh dari cukup. Untuk memperoleh tambahan
penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharaga
Rp150 / bungkus. Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT Catur Putra Surya
–Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang. Urbanisasi,
berdagang untuk penghasilan tambahan, dan berpindah kerja dari satu pabrik ke
pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan kisah klasik
buruh perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an.
Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya, dengan
beberapa kawannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal
(SPSI). Tuntutan inilah mungkin membuatnya dipindah pihak manajemen ke pabrik
PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Ia mondok di
pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai operator mesin
bagian injeksi dengan upah Rp 1.700 dan uang hadir Rp 550 per hari.
Di pabrik itu, seperti kebanyakan buruh lainnya, Marsinah
bukanlah termasuk kelompok aktivis. Ia tidak masuk dalam kepengurusan unit
kerja SPSI di pabrik ini maupun ikut kelompok informal buruh yang sering
berdiskusi membahas kondisi kerja mereka. Waktu luangnya dimanfaatkan secara
pribadi untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Belajar menambah
pengetahuan menjadi hasratnya sejak bersekolah dulu, karena ia percaya melalui
pendidikanlah masa depan seseorang menjadi lebih baik. Suatu common sense
yang dianut banyak orang.
PT CPS (Catur Putra Surya), Porong, Sidarjo | Agustus 1993. Salah satu dari 14 pabrik yang pertama kali terkubur lumpur Lapindo Brantas (Juni 2006). |
Pemogokan buruh untuk meningkatkan posisi berunding mereka
merupakan hal umum pada ribuan perusahaan manufaktur di berbagai kawasan
industri sejak akhir dasawarsa 80-an. Akibat kebijakan upah buruh murah
pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, sengketa perburuhan meluas.
Intensitas dan skala pemogokan meningkat luar biasa sejak awal 90-an. Tiada
hari tanpa pemogokan atau unjuk rasa. Meskipun lebih bersifat spontan atau
sporadis, sangat jarang terjadi gelombang pemogokan yang terorganisasikan.
Sebabnya sangat jelas, karena lemah atau dilemahkannya serikat buruh serta
kendali represif pemerintah yang sangat kokoh melalui birokrasi sipil dan
militernya hingga ke kawasan pabrik. Dalam konteks ekonomi-politik inilah
tuntutan buruh-buruh PT CPS di akhir April 1993 dan pemogokan mereka, 3-4 Mei
1993, yang berujung pada pembunuhan Marsinah, musti diletakkan.
Tetapi dalam seluruh aktivitas perundingan yang melibatkan 24
orang perwakilan buruh (15 di antaranya wakil buruh yang dipilih spontan, dan
sisanya 9 orang pengurus SPSI setempat) maupun aksi mogok di PT CPS, 3-4 Mei tersebut,
Marsinah tak pernah ikut serta. Pada pemogokan 4 Mei, saat perundingan
berlangsung antara wakil buruh dan para birkorat yang melibatkan pejabat
Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran Muspika setemapat
termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo, berlangsung di kantor pabrik, ia
malah bekerja seperti biasa. Sementara, pagi hingga menjelang siang itu juga,
seorang kawannya yang dituding sebagai pemrakarsa pemogokan tengah memenuhi
surat panggilan Kodim dan dinterogasi di Makodim Sidoarjo.
Perundingan yang tidak melibatkan pihak perusahaan itu sendiri
berjalan lancar. Meskipun ada beberapa kompromi, hampir semua butir tuntutan
buruh terpenuhi. Kecuali tuntutan yang lebih ‘politis’ seperti pembubaran unit
kerja SPSI yang dianggap tidak berfungsi mewakili kepentingan mereka. Hal-hal
yang dalam wacana pemerintah dipandang sebagai soal-soal normatif seperti
kenaikan upah sesuai peraturan UMR, perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti
hamil, dijanjikan pihak perusahaan.
Meskipun demikian, dalam kerangka bekerjanya rejim pengandali
buruh di Indonesia, seperti di negara-negara miltary-beareucratic-authoritarian
lainnya, aparat militer menduduki peran sentral. Mereka bukan hanya centéng
yang menjadi penjaga malam kepentingan para pemodal, tapi lebih dari itu adalah
patron yang kekuasaannya melampaui imperatif kepentingan modal. Sudah menjadi
rahasia umum, jajaran birokrasi komando teritorial Orde Baru memperoleh sumber
daya ekonominya dari memeras para pengusaha. Baik buruh maupun majikan disandera
untuk menciptakan ancaman satu sama lain. Dari ancaman itulah birokrasi militer
memperoleh uang. Pada momen tertentu, meski tak harus melalui upaya provokasi,
pemogokan buruh dijadikan senjata untuk menodong para pemilik perusahaan agar
mereka rela mengeluarkan biaya-biaya keamanan. Pada momen yang lain, dan ini
yang sering terjadi, buruh-buruh diancam, diintimidasi dan dikontrol sepenuhnya
dalam kendali mereka, bukan kendali pabrik.
Apa yang terjadi sore hari 4 Mei 1993 adalah awal dari ujung
kematian Marsinah. Menyimpang dari ‘logika’ suksesnya sebuah perundingan, 13
buruh PT CPS yang dicap sebagai dalang oleh penguasa militer setempat dipanggil
melalui surat yang ditandatangani sekretaris kelurahan Desa Siring agar
menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo. Malamnya, di pemukiman buruh sekitar
pabrik, mengetahui teman-temanya besok akan dipanggil, Marsinah menulis suatu
catatan kepada seorang temannnya. Isinya semacam petunjuk jawaban bagi
rekan-rekannya bila mereka dinterogasi di Kodim. Ia pun mengatakan pada kepada
rekan-rekannya, bila mereka diancam Kodim, ia akan membawa perosalan ini ke
seorang pamannya di Kejaksaan Surabaya.
Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS memenuhi panggilan Kodim. Di
markasnya, Sidoarjo, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di
atas kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun bujukan, termasuk akan
diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’. Tak ada pilihan lain bagi mereka
kecuali patuh, menandatangani surat tersebut. Selepas Maghrib, mereka menerima
pembagian uang pesangon yang diberikan langsung oleh pihak menejemen di markas
itu. Sempat terlontar dari salah seorang menejer PT CPS bahwa pemecatan
tersebut bukan kemauan perusahaan, tapi kehendak Kodim. Suatu kaidah normal
dalam logika rejim pengendali buruh.
Sementara itu, sepulang kerja giliran pagi, Marsinah bertemu
dengan salah satu temannya dan mengingatkan rencana pertemuan para buruh untuk
mendengar informasi rekan-rekannnya yang dipanggil. Di rumah pondokannya, ia
membuat surat pernyataan kepada perusahaan, yang dituliskan oleh teman satu
kosnya yang juga buruh PT CPS. Sorenya, surat itu difotokopi dan berencana
dibagikan ke teman-temannya pada pertemuan malam hari. Tadinya surat itu hendak
disampaikan ke perusahaan melalui ketua unit kerja SPSI PT CPS, tapi Marsinah
dan seorang temannya yang memboncengkannya dengan motor tidak berhasil
menemukan rumah si ketua. Akhirnya ia sampaikkan langsung ke pabrik melalui
satpam.
Memenuhi rasa ingin tahu perkembangan ke-13 teman-temannya,
sepulang mengantar surat, Marsinah kembali ke pondokan seorang temannya.
Menjelang Maghrib, bersama empat temannya mereka memutuskan menyusul ke Kodim
untuk mencari kabar. Tiga temannya naik kendaraan umum. Ia sendiri membonceng
sepeda motor, dan sempat tersesat hingga pusat kota Sidoarjo. Di Makodim
Sidoarjo, tiga temannya sudah tiba lebih dulu. Tapi mereka semua terlambat. Ke
13 temannya sudah kembali pulang. Dalam perjalalan pulang besepeda motor,
Marsinah sempat mampir ke beberapa teman buruhnya untuk membagi-bagikan foto kopi
surat pernyataannya.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari
13 temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu ramai, Marsinah
mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah pondokannya. Ia
menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan menunjukkannya.
Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika mengetahui ke-13 buruh
yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di Makodim. Ia tidak
menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke pamanya yang jaksa di
Surabaya itu.
Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke dalam
rumah. Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke rumah
seorang teman perempuannya. Ia mengenakan kaos putih, rok coklat dan bersandal
jepit. Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran malam.
Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan
dua orang kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman
lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei 1993.
Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak perusahaan
pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya): "Sehubungan
dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon untuk tidak
mencari-cari kesalahan karyawan"
Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat pemecatan
mereka. Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang, tidak
adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal sehatnya.
Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas baginya, siapa yang
berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim?
Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam benak
Marsinah malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah
temannya yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang
menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam, menjelang
setangah sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah pohon mangga dekat
Tugu Kuning, desa Siring.
Tugu Kuning
gerbang ke pemondokan buruh, desa Siring, Sidoarjo | Agustus 1993. |
Sejak saat itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui kemana
Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang mungkin
‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang bisa
dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak pergi ke
pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya.
Missing link itu tak pernah
terungkap di pengadilan sesat yang sarat rekayasa. Majikannya, pemilik PT CPS,
para menejer perusahaan, bagian personalia, kepala bagian mesin, dan seorang
satpam dan seorang supir perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama
19 hari, di bulan Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa,
menganiaya dan kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka
diadili dan diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri
Sidoarjo, dan diperkuat Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun
dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung, tapi ini
hanya menunjukkan betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan tempat untuk
menegakkan keadilan.
Poster
lukisan Semsar Siahaan (Medan, 11 Juni 1952 - Tabanan, 23 Februari 2005) | 1994 |
Maka penyelidikan dan penyidikan ulang dilakukan, pertangahan
1995. Kepolisian RI turun tangan. Tim forensik dari Jakarta membongkar ulang
(yang ketiga kalinya!) makam Marsinah. Berbagai komentar dan analisa merebak di
surat kabar. Komnas HAM mendukung penyelidikan ulang. Panglima ABRI
menginstruksikan pengusutan. Bahkan Menaker Abdul Latief berjanji mengungkapnya
hingga tuntas, dan Presiden Suharto kala itu mendukungnya. Namun tak ada
‘hasil’ apapaun yang dicapai dari hiruk-pikuk wacana itu. Isu-isu lain menelan
kasus ini kembali ke bawah permukaan, dan orang lupa atau coba melupakannya.
Pun saat rejim berganti. Ingatan banyak orang mencuat kembali.
Baik pemerintahan Habibie maupun Gus Dur menunjukkan niatnya untuk mengungkap
kegegeran lama itu, apapun penyebabnya: tekanan internasional, tuntutan LSM,
legitimasi politik, hak asasi manusia, rasa bersalah ataupun upaya
sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan, rule of law. Bahkan,
terakhir ini, DPRD Jawa Timur sudah meminta keterangan dan penjelasan beberapa
perwira tinggi dan intelejen ABRI yang dianggap mengetahui dan bertanggungjawab
atas kebijakan rejim saat itu. Mereka semua mengelak. Tak ada informasi yang
signifikan, tak ada argumen yang bermakna, tak ada fakta-fakta dan bukit-bukti
‘baru’, yang dapat dijadikan dasar bagi upaya meraih keadilan. Semua pertanyaan
kunci sederhana tak pernah terjawab: kapan Marsinah mati, di mana, oleh siapa,
dengan cara bagaimana? Atau mungkin memang tak hendak dijawab, oleh siapapun
kita.
Kita merasa cukup puas, bahkan terpuaskan, sekedar menyatakan:
“Marsinah, seperti halnya sebagaian besar kita, adalah korban dari suatu mesin
kekuasaan dan kekerasan, yang bernama Orde Baru”. Dan kita merasa mampu, dengan
rasa bangga, menobatkannya menjadi seorang pahlawan, yang mengasingkan dirinya,
juga diri kita, dari kehidupan sehari-hari. Karena kita masih menjadi bagian:
Orde Baru.
Harry Wibowo
Koordinator Tim Pencari Fakta “Pembunuhan Marsinah” YLBHI
(November 1993-Maret 1994)
Catatan penulis:
1. Tulisan ini pernah dipublikasi Kompas, edisi khusus ulang tahun, Rabu, 28
Juni 2000.
2. Foto ditambahkan,
salah ketik diperbaiki. Sayangnya saya menemukan file artikel ini belakangan
setalah acara "Marsinah Menggugat" yangg diselelnggarakan oleh
Aliansi Buruh Menggugat (ABM), malam 8 Mei 2009 di halaman kantor YLBHI, Jakarta.
di muntahkan oleh sawung@psik-itb.org
No comments:
Post a Comment