Monday, May 30, 2011

Sebuah ode untuk Ical - (Astro ITB -97) [copas dari notes fb roy baroes]

by Roy Baroes on Thursday, May 26, 2011 at 3:11am

Ical, kawanku...

Hujan disini terasa sedih sekali. Ia tidak jatuh bebas. Jatuh yang segaris lurus mantap menuju tanah seperti yang biasa kita jumpa. Tapi Ia melayang-layang di udara, ragu dan hampa. Terkadang ia turun, seolah malu menatap tanah, Begitu lemah. Maka sedetik ke depan ia melayang naik, menyamping, enggan. Ia basah, namun basahnya pun malu-malu.

Seorang dosen yang semula kita pandang bijak, menceramahi kita tentang filsafat payung dan hubungannya dengan hujan. Menurutnya, kita hidup di bumi ini harus selalu sedia payung jika datang musim penghujan.Hidup ini harus berjaga-jaga katanya, harus ada rencana ini dan itu untuk mengantisipasi terjadinya sesuatu. Tapi, pikirku pasti dia belum pernah melihat hujan yang sebenar-benarnya hujan. Hujan yang seperti kita punya. Hujan tanpa payung. Dan pasti dia tak pernah menikmati hujan seperti kita menikmatinya.

Hujan kita adalah hujan yang gagah kawan. Dengan berani aku katakan itu padamu. Ia turun bagai butir-butir peluru dimuntahkan dari senapan langit. Ia jatuh. Ohh bukan, Ia bukan jatuh, Ia terjun bebas lepas dari ketidakpastian, seperti pada masa-masa kegamangan yang berkali-kali kita alami bersama dimasa muda, berontak dari jiwa-jiwa kita, dibeberapa tahun yang lalu.

Hujan kita juga adalah hujan yang pemberani, Kawan. Jatuhnya menikam bak pisau ditancapkan sampai ke hulu hati. Menyirami kita dengan gemuruh semangat dan apinya yang membakar perjuangan kita pada masa itu, dalam gerakan mahasiswa menentang penguasa yang serakah.Apakah engkau masih ingat kawan. Suatu ketika kita bersama teman-teman lainnya menggalang gerakan mahasiswa kampus, menggelar orasi mengobarkan reformasi. Aku yakin engkau masih mengingatnya Kawan. Siang itu, jalan Ganesha yang awalnya terik panas tiba- tiba menjadi mendung kelabu. Lalu hujan pun jatuh seiring serbuan berlapis-lapis lebih pasukan polisi dan tentara yang menghancurkan barikade kita. Teman-teman pada barisan terdepan telah berjatuhan dihantam pukulan rotan, popor senjata dan gas air mata.Kita terus bergerak maju Kawan, karena kita berdualah yang kini berada diantara barisan terdepan. Kita saling bergandengan saling jaga. Dada kita bergemuruh, kau dekap kuat-kuat lenganku agar aku tak terjatuh. Berkali-kali ayunan rotan pasukan huru-hara menghantam kepalaku dan kibasan tamengnya menyabet pelipisku. Darah merah pun pecah dari sana melumuri wajahku. Seketika itu kau pun murka, menggeram kau terjang semua tameng, kau rebut semua tongkat pemukul. Engkau menjelma bagai banteng marah yang terluka itu. Dan hasilnya, sore hari setelah semuanya usai, kita duduk - duduk bersama di kantin mahasiswa sambil menghitung dengan bangga berapa banyak memar dan luka yang kita terima.Pernah suatu kali kita terjebak ditengah hujan, diatas sepeda motor. Sepeda Motor tua miliknya si Sigit, adik kelas kita. Honda bebek 70 berwarna merah marun lusuh, yang tanpa kaca spion dan lampu Sien, hingga aku harus menggunakan anggota tubuh guna memberi tanda saat berbelok ditingkungan. Kau pacu kencang sepeda motor tua itu menembuh derasnya hujan. Tiap butirnya mengiris tipis bagaikan silet, menelusuri permukaan kulit wajah dan mencerabuti tiap helai rambut gondrong kita, tanpa helm pelindung kepala, ngebut menuju kampus, mengejar waktu ujian mata kuliah Termodinamika.

Hujan kita saat itu sungguh gagah kawan.. Begitu gagah, segagah kita yang akhirnya tiba dikampus dengan basah kuyup, lalu ternyata ujian termodinamika saat itu ternyata ditunda.

Di tengah-tengah hujan, kita tak pernah perlu payung, tapi aku menjadi teringat padamu, suatu ketika kau memintaku mencarikan sebuah payung, payung yang besar untuk berdua pintamu . Hah…, aku rasa hal ini pasti sebuah keluarbiasaan yang ajaib dan aku tahu kau sedang jatuh cinta. Ah, Kau payah sekali waktu itu Kawan. Tampangmu begitu sangar, rambutmu gondrong panjang tapi hatimu termehek-mehek oleh lagu jatuh cinta. Payah sekali kau Kawan....Tapi kau tak peduli dengan olokanku dan engkau tetap pergi ke Jurusan Matematika, membawa payung pinjaman untuk menjemput gadis yang kau impikan.

Kita juga punya gerimis Kawan, aku ingat itu. Sebuah gaya gerimis yang melingkupi persahabatan kita dengan kesenduannya.

Gerimis kita itu mengandung sejuta kegelisahan kawan,kegelisahan atas realitas kehidupan di sekitar kita. Kegelisahan yang tercampur dengan kesedihan, tapi sedihnya tetap terasa begitu lugas. Seperti Seekor anak beruang yang menangisi kepergian induknya, Dia harus merelakannya agar hidup mereka tetap berkelanjutan. Seperti itulah gerimis kita jatuh berderap, terus dan terus. Pelan dan berat membuat sesak logika dalam otak kita. Betapa hati kita menjadi miris saat menyaksikan anak-anak kecil tak bisa sekolah karena tak ada biaya, betapa hati kita menangis ketika menyaksikan seorang ayah menangisi jasad anak dan istrinya yang meninggal terkubur menjadi korban bencana tanah longsor di musim penghujan.

Seperti itulah gerimis kita kawan, Seperti hidup yang tahu akan segera berakhir. Gerimis kita menitipkan semua kabar kesedihan kita, tetapi ia juga adalah sedih yang tidak begitu saja pasrah. Maka dengan begitu itu ia sama baiknya pada hujan masa lalu, Hujan itu, hujan kita, yang gagah dan kuat.

Aku teringat juga satu kali, berdua kita berdebat keras didalam ruangan unit kemahasiswaan. Saat itu hujan diluar begitu deras dan kita berselisih, saling menumpas. Tak satu kali aku bermaksud mengatakan apapun, tapi ini mengenai pilihan kataku, sedang engkau berkata ini tentang prinsip hidup yang tak boleh diserahkan begitu saja pada kekalahan, meski datangnya bertubi-tubi. Lalu kita berjanji untuk membuktikannya kepada dunia suatu hari ini nanti. Mungkin dari dalam ruangan itu, badai ambisi kita telah membuncah membelah pecah, merembes keluar, menjelma jadi hujan, menjadi badai. Badai yang meraung-raung mematangkan kita. Tak satupun payung di dunia ini yang cukup buat menahan badai yang kita bangkitkan itu.

Aku merindukanmu Kawan. Apalagi dikala hujan yang malu-malu seperti ini. Hujan yang remah, langit yang terlepas tanpa gayutan , dibuang dari keseluruhan.

Selamat ulang tahun kawan. Kami yang masih di dunia ini semakin menjadi tua, sementara Engkau tentu saja tetap selalu muda dan bergairah disana..

Semoga Allah memberikan Ampunan padamu dan menempatkanmu di Surga-Nya, sehingga kita dapat berkumpul lagi bersama disuatu saat nanti..

Amin....

Roy Baroes -Geofisika- PSIK ITB 97

In Memoriam

Faisal Riza (Ical) Astronomi – PSIK ITB 97

di muntahkan oleh sawung@psik-itb.org

No comments: