Wednesday, November 07, 2007

Kejar paket B

Dapat email dari seorang kawan. Beginilah potret kehidupan bangsa ini. Jadi teringat perkataan Prof M T Zein " Sungguh malang nasib mereka yang bodoh dan miskin, tidak ada yang memikirkan mereka. Bagaimana mau pintar kalau sejak dalam kandungan saja gizi mereka kurang"

---

Versi Opini
Dibuat oleh salah satu mantan pengajar Mts. Al-Huda, Bandung, Jawa Barat
Kronologis Kejadian
Rabu, 11 September 2007, seorang guru yang pernah mengajar bersamaku waktu di Bandung dulu mengabariku bahwa murid-murid di sekolah tempat kumengajar dulu tidak lulus Ujian Kejar Paket B. Aku agak terkejut, karena dari 8 orang muridku yang mengikuti Ujian Kejar Paket B, semuanya tidak lulus. Masalahnya, bagiku reputasi dan kualitas Ujian Kejar Paket B jauh lebih rendah daripada UAN. Kenapa mereka sampai tidak lulus juga? Apa kemampuan akademik mereka serendah itu? Untuk informasi saja, dari 10 anak dari Mts. Al Huda yang mengikuti UAN tahun 2007 hanya 2 orang yang lulus UAN, sisanya harus mengikuti Ujian Kejar Paket B dan kedelapannya lagi-lagi tidak lulus.
Karena kupikir guru-guru yang lain pasti butuh bantuan dalam mengurus masalah ini, aku memutuskan bertemu mereka. Aku berangkat dari Jakarta ke Bandung (saya kini mengajar di Jakarta) untuk bertemu guru-guru yang lain, sebut saja namanya A dan B (keduanya masih mengajar di Mts. Al Huda). Dari sana aku mengetahui bahwa:
1. Status ketidaklulusan anak-anak masih simpang siur, belum ada yang menerima berkas resmi dari Diknas yang menyatakan bahwa anak-anak tersebut tidak lulus. A mendengar kabar tersebut dari salah satu orang tua murid. Jadi aku masih berharap berita itu tidak benar.
2. Ternyata Mts. Al Huda sudah bubar, karena tidak ada murid dan berbagai masalah intern. Manajemen sekolah seperti mau lepas tangan terhadap masalah ini.
3. Rapor anak-anak dipegang oleh salah satu guru dan tidak dikembalikan pada anak-anak. Padahal raport tersebut dibutuhkan untuk keperluan administrasi anak-anak di SMA.
4. Ke-7 anak-anak tersebut sudah memasuki jenjang SMA dengan mempending ijazah paket-B mereka. A bilang sudah ada keputusan dari pemerintah bahwa sekolah tidak boleh menolak anak-anak yang tidak lulus UAN dengan tetap berprinsip kompetisi (aku tahu ini belakangan sih). Hal ini diketahui oleh A dari koran Pikiran Rakyat, dan telah dikonfirmasikan dengan orang dari Dinas Pendidikan Kota Bandung. Murid-murid saya bisa memasuki SMA dan SMK swasta "kecil" (in my opinion) yang juga membutuhkan murid. A telah memastikan bahwa manajemen sekolah-sekolah tersebut lebih baik dari pada Al Huda, sehingga nanti anak-anak (mungkin) tidak terjebak dalam masalah yang sama.
5. Ada kabar bahwa kepala sekolah sudah mendaftarkan anak-anak untuk mengikuti Ujian Kejar Paket B selanjutnya yang diadakan setelah lebaran. Tapi belum ada yang tahu kepastiannya.
6. A bercerita bahwa beberapa temannya murid-muridku yang bersekolah di sekolah lain, ada juga yang bernasib sama (tidak lulus Ujian Kejar Paket B), tapi masalah itu sudah "diurus" oleh pihak sekolah mereka dan mereka "akhirnya diluluskan". Kabar itu memang belum bisa dipastikan, tapi aku jadi sedikit berharap masalah anak-anak juga bisa "diselesaikan" meskipun aku belum tahu bagaimana bentuk term "diurus" itu.
Jadi aku mulai membantu guru-guru yang lain mengurai benang kusut ini. Hal pertama yang terpikir olehku adalah mencari tahu nilai hasil Ujian Kejar Paket B dan memastikan apakah murid-muridku lulus atau tidak. A memiliki nomor telepon Ibu Yetti, Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah. Dari Beliau, aku memperoleh informasi bahwa nilai hasil ujian dan status kelulusan murid-muridku dapat diperoleh di Bagian Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Bandung. Akhirnya aku ke sana. Di sana aku memperoleh informasi yang kira-kira begini :
1. Aku sangat terlambat. Nilai anak-anak sudah keluar sejak bulan Juni (dan aku baru ke sana bulan September). Dan seharusnya anak-anak sudah didaftarkan untuk mengikuti Kejar Paket B yang akan diadakan bulan Oktober.
2. Nilai murid-muridku memang sangat jelek (cukup shock juga melihatnya). Mereka positif tidak lulus. Entah harus lega juga atau makin shock, dari buku daftar nilai hasil Ujian Kejar Paket B yang ditunjukkan oleh staff diknas bag. PLS, aku tahu bahwa banyak juga anak-anak yang mengalami nasib seperti murid-muridku. Aku sedikit ingin bertanya bagaimana "sebaiknya" menurut bapak, bisa "diurus" atau tidak ? Tapi aku memang tidak berbakat menanyakannya (padahal dulu kupikir itu hal yang biasa ketika kita beranjak dewasa).
3. Murid-muridku tetap bisa mengikuti Kejar Paket B. Namun mekanismenya harus melalui PKBM. Pihak Dinas Pendidikan menyarankanku untuk mendaftarkan murid-muridku di PKBM Siliwangi 2. Berdasarkan informasi dari pemilik PKBM siliwangi 2, aku memperoleh informasi bahwa untuk mengikuti Ujian Kejar Paket B, anak-anak harus mengikuti semacam bimbingan belajar selama 3 bulan sebelum mengikuti Ujian Kejar Paket B. Persyaratan ujian adalah rapor SMP, legalisir ijazah SD, dan foto. Biaya untuk bimbingan belajar sebesar 250 ribu/anak (biaya bimbingan ini kesepakatan forum PKBM di Bandung. Beliau menunjukkan surat edarannya-red). Sementara biaya ujiannya sebesar 50-75 ribu/anak. Menurut pihak PKBM tersebut, kedua biaya tersebut negotiable (bisa dibicarakan di pertemuan selanjutnya di PKBM/di rumah beliau. Saat itu kami di Diknas-red). Dalam kasusku yang sangat terlambat, beliau bilang tidak masalah anak-anak tidak mengikuti dengan penuh belajar yang 3 bulan itu. tapi anak-anak tetap harus belajar disana untuk bersilaturahmi dengan murid-murid lain dan beliau tidak bisa "menjamin" anak-anak bisa lulus tanpa mengikuti bimbingan belajar tersebut.
“Yah kalau anak-anak gak ikut itu, saya gak jamin anak-anak bisa lulus”, begitu katanya.

Dalam hati aku masih bertanya-tanya, apa benar biayanya semahal itu? Akupun merasakan ada hal yang "mencurigakan" ketika berbicara dengan orang PKBM tersebut. Aku memutuskan untuk mencari jalur lain atau kejelasan prosedur yang sebenarnya. Murid-muridku tak mampu membayar semahal itu. Orang tua murid-muridku beberapa buruh. Rp 250.000,- tentu biaya yang terlalu mahal.
Aku memutuskan untuk menghubungi mantan kepala sekolah Al-Huda untuk memastikan apakah beliau memang benar sudah mendaftarkan anak-anak untuk mengikuti Ujian Kejar Paket B. Via SMS beliau bilang bahwa beliau sudah mendaftarkan anak-anak untuk mengikuti Ujian Kejar Paket B ke PKBM Amanah dan beliau memberikan no kontak pemilik PKBM tersebut. Pemilik PKBM amanah yang kuhubungi mengatakan bahwa memang kepala sekolah Al-Huda sudah menghubungi beliau, tapi harus ada konfirmasi lebih lanjut. Aku bertanya untuk memastikan apakah murid-muridku bisa mengikuti ujiannya saja, sementara proses belajarnya tetap dengan guru-guru Al Huda. Aku lega sewaktu beliau berkata bisa. Aku pikir tanpa mengikuti bimbingan belajarnya, biayanya akan lebih murah, karena hanya biaya ujiannya saja. Akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di rumah beliau. Disana aku mengetahui bahwa biaya untuk mengikuti Ujian Kejar Paket B di PKBM Amanah adalah sebesar Rp 250.000,- meski tanpa mengikuti bimbingan belajarnya. Biaya sebesar itu sudah mencakup biaya untuk ijazah dan lain-lain. Tidak ada tambahan biaya lagi. Beliau bilang biaya sebesar itu sudah kesepakatan forum PKBM. Menurut beliau, aku masih beruntung sudah menghubungi beliau, di PKBM lain mungkin biaya akan lebih besar lagi. Jalan buntu. Tapi setidaknya aku bisa memperoleh soal Kejar Paket B tahun 2005 dari beliau[1]. Lumayan buat buat belajar anak-anak.
Aku pikir masih ada 2 jalan yang masih bisa kucoba:
1. Mencari PKBM lain yang mungkin bisa menggratiskan atau setidaknya hanya membayar biaya ujiannya saja. Kupikir siapa tahu ada PKBM yang tidak termasuk forum PKBM itu.
2. Jalan lain yang terpikir olehku adalah mencari prosedur Ujian Kejar Paket B dari pemerintah langsung.
Jadi kucoba mencari satu persatu:
1. Aku meminta A mengubungi Kerlip (Keluarga Peduli Pendidikan), menanyakan apakah mereka juga menyelenggarakan Ujian Kejar Paket B. A mengenal pihak Kerlip dan mereka mungkin bisa mengusahakan muridmuridku untuk ikut ujian. Pihak Kerlip mengatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan apakah bisa mengakomodir murid-muridku dan memberikan ujian gratis. 2 hari kemudia, pihak Kerlip memberi kabar bahwa untuk saat ini mereka belum bisa menyediakan ujian gratis karena dana bantuan belum turun. Akan tetapi, mereka merekomendasikan ke nomor kontak lain yang mungkin bisa menyediakan ujian gratis untuk murid-muridku. Sayangnya, ternyata belum bisa. Tapi aku mendapat bantuan untuk dihubungkan ke PKBM lain yang mungkin bisa memberikan ujian gratis. Disana ternyata biayanya Ujian Kejar Paket B-nya lebih mahal (500 ribu). Tapi untuk kasusku (murid-murid dari keluarga tidak mampu), ibu pemilik PKBM tersebut berkata bahwa beliau mungkin bisa membantu. Beliau bilang bahwa setiap PKBM terkadang mendapat jatah sekitar 20 siswa yang dapat mengikuti ujian gratis dari Diknas. Tapi untuk ujian di bulan Oktober ini, jatah tersebut sudah penuh. Jadi aku hanya bisa mencoba untuk mendaftarkan anak-anak untuk jatah tahun depan. Beliau bilang sebaiknya mereka didaftarkan lebih awal sehingga beliau mungkin bisa membantu. Tapi beliau tidak bisa menjanjikan bahwa mereka semua bisa memperoleh jatah tersebut, mengingat tingginya peminat yang ingin mengikuti Kejar Paket B gratis ini. Persyaratan yang harus dipenuhi sama yaitu rapor smp, foto dan ijazah SMP yang dilegalisir.
Sementara itu A mencoba menghubungi seorang teman yang aktif di pendidikan alternatif. Dari sana ia mendapatkan nomor kontak ketua PKBM Alpha. Beliau bilang di PKBM tersebut anak-anak bisa belajar dengan gratis. Kalau tidak gratis, A boleh melapor ke beliau. A pun menelepon salah satu pihak PKBM Alpha. Ia mendapat informasi kami bisa mencoba mendaftarkan anak-anak di sana dan bisa mengikuti Ujian Kejar Paket B tanpa biaya. Tapi menurut beliau, biaya sebesar 250 ribu itu sebenarnya permintaan Diknas untuk ikut ujian. Dari pengalaman beliau, anak-anak yang tidak membayar biaya tersebut kemungkinannya kecil untuk lulus ujian.
“Pak, saya dengar di PKBM Alpha anak-anak bisa belajar gratis?”
“Iya, betul di sini tidak dipungut biaya.”
“Tapi kalau ujiannya gimana ya? Bayar tidak?”
“Nah itu, kalau untuk ujian kemungkinan dipungut bayaran sekitar Rp 250.000,-“
“Loh, katanya gratis Pak?”
“Iya, belajarnya gratis, tapi kalau untuk ujiannya kemungkinan bayar. Ujiannya itu yang menyelenggarakan Diknas. Nah, uang itu yang mungut Diknas.”
“Wah, mahal benar yah pak? Aduh, anak-anak saya mana bisa bayar.”
“Ya itu, saya juga tahu. Hal ini memberatkan sekali. Saya dan ketua PKBM ini dari dulu juga marah sekali.”
“Kemarin waktu anak-anak ikut Ujian Paket B pertama kali bayar nggak?”
“Nggak.”
“Nah, harusnya bayar tuh. Makannya anak-anak gak diurusin.”
Begitulah percakapan di telepon yang terjadi antara A dan pihak PKBM Alpha.
2. Untuk mengetahui kejelasan prosedur program Kejar Paket B, aku mengunjungi diknas provinsi (karena aku sebelumnya sudah ke Diknas Bandung) dan Departemen Agama (karena murid-muridku berasal dari MTS). Semua jawabannya sama, untuk mengikuti Ujian Kejar Paket B harus melalui PKBM. Mengenai biaya, implisitnya, tergantung PKBM. Aku tidak bisa mendapat informasi apa-apa lagi selain itu. Padahal aku ingin sekali tahu, bagian apa di diknas yang menyelenggarakan ujian itu. Dan berapa biaya ujian sebenarnya. Sebenarnya memang ada prosedur lain untuk menyelesaikan masalah anak-anak yaitu mengikuti UAN tahun depan. Masalahnya sekolahnya sudah bubar. Dan karena anak-anak sudah mengikuti kegiatan belajar mengajar di SMU dan SMK, kupikir akan lebih baik kalau anak-anak secepatnya bisa mendapat ijazah SMP (selain karena pihak sekolah juga sudah meminta ijazah tersebut).
Teman saya A menghubungi seseorang yang mengerti banyak tentang Undang-Undang pendidikan, untuk menanyakan Undang-Undang yang menyangkut PLS. Dan beginilah balasannya:
“Peraturan Pemerintah Turunan UU Sisdiknas tentang PLS belum ada. Yang ada masih yang lama, atau baru tetapi ad hoc.”
Dari sepanjang perjalanan saya mengurus pendaftaran Kejar Paket B, ada beberapa pertanyaan yang mungkin peserta milis bisa membantu saya menjawab :
  1. Sebenarnya berapa sih harga dasar Ujian Kejar Paket B dari pemerintah? Kalaupun ada margin keuntungan yang bisa diperoleh oleh PKBM, berapa maksimal margin yang diperbolehkan? Menurut saya, kalau memang pemerintah melempar Ujian Paket B ke PKBM, sedikit wajar juga kalau mereka mengutip biaya administrasi. Tapi Kejar Paket A dan B adalah pendidikan dasar yang diwajibkan pemerintah, setidaknya harus ada batas-batasannya. Untuk informasi lain, si A pernah menelfon salah satu lembaga yang menyelenggarakan Kejar Paket B (informasinya berasal dari iklan koran), di sana biaya Ujian Kejar Paket B-nya mencapai Rp 1.500.000,-.
  2. Bukankah Kejar Paket B sebenarnya diperuntukkan bagi anak-anak putus sekolah yang tidak memiliki biaya untuk mengikuti sekolah formal?
  3. Kabarnya pengajar Kejar Paket B dibayar oleh pemerintah (tolong koreksi bila saya salah informasi). Lantas, kenapa harus ada biaya bimbingan belajar?
  4. Ada hal yang menurut saya aneh di prosedur Ujian Kejar Paket B. Salah satu persyaratan mengikuti Ujian Kejar Paket B adalah rapor SMP. Bukannya Kejar Paket B sebenarnya diperuntukkan oleh anak-anak yang putus sekolah? Dari mana mereka mendapat rapor? Setahu saya program belajar Kejar Paket B dipadatkan menjadi sekitar 3 bulan. Rapor apa yang didapatkan dalam 3 bulan? Menurut salah seorang pemilik Kejar Paket B, biasanya rapornya dibuatkan oleh mereka. Aku bingung, rapor tiga tahun? Fiktif dong? (Maaf, saya tidak berani bertanya langsung pada mereka). Kalau ada yang mengetahui dengan benar prosedurnya, saya minta bantuannya mengoreksi saya.
  5. Adakah pengawasan pemerintah untuk menjaga kualitas dan keabsahan hasil Ujian Kejar Paket B (dan paket-paket yang lain)? Sebab saya mendapat informasi berikut ini (meski saya tidak menjamin 100% kebenarannya):
o murid-muridku berkata bahwa saat ujian, ternyata mereka mendapat contekan dari pengawas (khusus untuk pelajaran IPA), walaupun belum tentu benar. Dan muridku mengatakan bahwa mereka tidak percaya pada contekan tersebut. 2 peserta yang duduk di pojok belakang diperbolehkan membawa dan menyalakan hp, bahkan mereka memperoleh sms, yang murid-muridku berkata mungkin berisi contekan. (Karena saat ujian mereka berisik sekali). Kenapa pengawas memberikan jawaban, dan peserta ujian diperbolehkan menyalakan hp? Oh ya, dan perlu diketahui bahwa dari satu kelas tersebut, hanya 2 orang yang lulus ujian.
Hasil Ujian Kejar Paket B di kelas tempat murid-muridku mengikuti ujian
o Salah satu PKBM mengatakan bahwa kalau anak-anak tidak membayar biaya 250 tsb, mereka kemungkinan tidak akan lulus. Buatku, masalahnya adalah: lembar jawabannya bisa dimanipulasi di mana? Apakah ketika di PKBM? Atau di Diknas? Adakah pengawasan untuk memastikan bahwa lembar jawaban dimasukkan ke dalam amplop yang tertutup rapat sampai saatnya diperiksa? Katanya (entah kata siapa) pemeriksaannya dilakukan di pusat. Pusat itu dimana? Apakah pusat itu Jawa Barat, atau di Jakarta? Adakah yang mengawasi sepanjang perjalanannya melewati erbagai lembaga? Atau karena prosedurnya sederhana, jadi tidak perlu ada pengawasan?
o Salah satu pemilik PKBM berkata bahwa soal Ujian Kejar Paket biasanya tidak jauh berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Ya, kupikir pantas saja kalau banyak yang meragukan hasil Ujian Kejar Paket.
Opini Terakhir
Mungkin ada dari anda yang membaca tulisan ini yang merasa bahwa “Yah, gimana lagi, mereka kan ga lulus UAN (aku sedikit mendapat respon ini dari beberapa orang).” Tapi bukan berarti mereka harus dipersulit untuk memperoleh pendidikan selanjutnya, bukan?
Ini mungkin yang akan terjadi:
  1. Kalau seorang pintar (akademis) dan mampu à lebih terjamin untuk mendapat hak pendidikan
  2. Kalau seorang pintar (akademis) dan tidak mampu à masih punya kesempatan untuk mendapat pendidikan
  3. Kalau tidak pintar (akademis) tapi mampu à Setidaknya masih bisa ikut ujian (masih bisa bayar untuk ikut Ujian Paket B). Jadi masih punya pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
  4. Kalau tidak pintar (akademis) dan tidak mampu à Tidak punya kesempatan, karena tidak mampu untuk ikut Ujian Paket B. Rp 250.000,- bukan hal yang mudah untuk sebagian penduduk Indonesia. Anak-anak ini kemudian akan putus sekolah. Langsung bekerja, mungkin menikah muda. Karena tidak punya keterampilan, kesempatan untuk sekolah lagi. Wah, makin banyak anak putus sekolah di Indonesia dong?
Lagipula, untuk kasus Al-Huda, kurasa itu tidak sepenuhnya salah murid-muridku. 8 dari 10 siswa tidak lulus. Mungkin ada kesalahan dari saya dan teman-teman sebagai pihak pengajar, pihak sekolah, dan sebagainya. Saya merasa bahwa anak-anak sangat dipersulit, bahkan untuk mengikuti ujian. Sulit sekali untuk mendapat kesempatan untuk belajar lagi.
Kalau hanya 1 anak yang bermasalah, dan yang lain lulus dengan baik, mungkin permasalahannya memang di anak tersebut. Dan kita bisa membantunya meningkatkan kemampuannya. Lagipula, apapun masalahnya, kita tidak boleh mempersulit anak-anak memperoleh pendidikan. Apalagi pendidikan dasar.
Dalam kasus ini, bisa dibilang murid-muridku terancam putus sekolah (karena sekolahnya bubar). Di luar sana sudah banyak anak-anak yang putus sekolah. Tidak seharusnya jumlah itu makin bertambah, apapun alasannya.


[1] Setelah mengikuti ujian Paket B (saat itu di SMU 8, Bandung ), soal dikembalikan. Penulis pun telah mencoba memnta soal ke Dinas Pendidikan Kota Bandung. Tetapi phak dinas tidak mau memberikan soalnya. Menurut penulis, PKBM Amanah mau meminjamkan soalnya, karena pihak PKBM mengira murid-murid penulis akan tetap ikut PKBM Amanah.

di muntahkan oleh sawung@psik-itb.org

No comments: